Profesionalisme Dalam Manajemen Dakwah
Mengamati perkembangan masyarakat dalam konteks kekinian (yang populer dengan istilah golobalosasi) tantangan yang dihadaipi sumber daya manusia dalam berbagai bidang dan profesi, juga semakin meningkat berat, dan semakin besar serta semakin kompleks. Dikatakan berat, karena hal tersebut memerlukan berbagai daya dan upaya untuk menghadapinya. Demikian halnya dikatakan besar, dilihat dari cakupannya karena menjangkau sektor yang amat banayak. Serta dikatakan kompleks karena antara satu masalah dengan masalah lain saling terkait.
Apa yang menjadi permasalah di atas, sesungguhnya penyelenggaraan dakwah menjadi sebuah tantangan besar untuk menhadapi dan mencarikan jalan kekuarnya. Untuk maksud tersebut maka keberadan para pelaksana dakwah (da’i) mutlak diperlukan seiring dengan tantangan tersebut dan harus mengahadapinya maka diperlukan sumber daya manusia pelaksana kegiatan dakwah (da’i) yang handal dan profesional.
Apa yang menjadi permasalah di atas, sesungguhnya penyelenggaraan dakwah menjadi sebuah tantangan besar untuk menhadapi dan mencarikan jalan kekuarnya. Untuk maksud tersebut maka keberadan para pelaksana dakwah (da’i) mutlak diperlukan seiring dengan tantangan tersebut dan harus mengahadapinya maka diperlukan sumber daya manusia pelaksana kegiatan dakwah (da’i) yang handal dan profesional.
Untuk memperoleh gambaran tentang istilah profesional, maka berikut ini dikemukakan pengertian.
Istilah profesionalisme berasal dari akar kata yang artinya bidang pekerjaan yang dilandasi oleh pendidikan, keahlian (keterampilan) tertentu. Kemudian kata profesi ini berkembang lagi menjadi professional, yang berarti:
a. Bersangkutan dengan profesi;
b. Memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankan suatu pekerjaan;
c. Mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya;
d. Lawan dari amatir.
Selanjutnya istilah professional kemudian menjadi profesionalisme yang berarti mutu/kualitas dan tindak tanduk yang merupakan ciri dari suatu profesi atau orang yang professional dalam bidang atau suatu paham yang berorientasi pada kualitas kerja.[1]
Robert G. Murdick dan Joel E. Ross (1981), menyebut kriteria profesionalisme sebagai berikut:
1. Knowledge (pengetahuan).
2. Competent application (aplikasi kecakapan)
3. Social responsibility (tanggung jawab sosial)
4. Self-control (pengendalian diri)
5. Community sanction(saksi masyarakat atau sosial)
Dari pengertian atau batasan dan kriteria atau karakteristik profesi seperti dikemukakan diatas diperoleh penjelasan, bahwa profesi tidak sekedar pekerjaan apabila dijabarkan lebih lanjut memiliki karakteristik atau kriteria sebagai berikut:
1. Profesi memiliki badan pengetahuan dan teori yang esoterik artinya tidak dimiliki oleh sembarang orang kecuali yang sudah pernah mendapatkannya.
2. Profesi merupakan suatu keahlian (expertise) yang diperoleh melalui proses pendidikan formal yang ketat, melalui latihan (training) dan pengalaman dalam praktek.
3. Profesi memiliki kode etik yang kuat yang mengatur hubungan antara anggota profesional serta hubungan antara profesional dengan langganan, konsumen atau klien (clients) untuk tujuan perlindungan (protects). Karena pengetahuan profesional ahli dalam bidang khusus, langganan bergantung pada mereka mudah diserang
4. Profesi memiliki tanggung jawab dan dedikasi sosial dan institutional atau organisasi sesuai dengan kode etik.
5. Profesi memiliki perhimpunan (corporateness atau associateness) yang mendapat pengakuan dari pemerintah, masayarakat dan lingkungan.
6. Untuk memasuki profesi ditetapkan berdasarkan kriteria-kriteria dan syarat-syarat tertentu.[2]
Kanneth Blanchard dan Spenser Johnson mengajukan tiga proses sederhana untuk pengembangan sumber daya manusia secara indiviudal yang profesional. Ketiga proses itu antara lain adalah perumusan tujuan, pemberian penghargaan, dan pemberian peringatan. Hal ini didasarkan atas prinsip, bahwa feedback merupakan jalan menuju kualitas.[3]
Sementara Hamzah Ya’qub, bahwa ukuran kualitas untuk menentukan Sumber daya manusia (tenaga kerja) diperlukan tolok ukur Sebagai berikut;
1. Beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt. Faktor Iman dan taqwa merupakan fundamen kepribadian yang dapat menghasilkan pekerjaan yang bertanggung jawab.
2. Berbudi pekerti yang luhur. Iman seseorang akan memancarkan budu pekerti luhur termasuk didalamnya tanggung jawab, lurus dan jujur, istiqamah, sabar daan lain-lain sikap dan sifat yang terpuji (akhlakul karimah) yang direalisasikan dalam medan kerjanya.
3. Sehat jasmani. Setiap orang muslim perlu membina fisiknya melalui berbagai upaya, antara lain memakan makanan yang bergizi baik, olah raga, istirahat dan kerja yang seimbang. Kelesuan pisik mempengaruhi semangat kerja.
4. Sehat Rohani, Meliputi kestabilan mental dalam mengahadapi tugas pekerjaan, memiliki semangat dan gairah kerja yang selalu hidup, antusias dan sebagainya.
5. Trampil. Salah satu ukuran mutlak untuk menentukan tenaga yang berkualitas ialah ketrampilan (skill) dalam bidang tugas yang dihadapinya.[4]
Istilah profesionalisme berasal dari akar kata yang artinya bidang pekerjaan yang dilandasi oleh pendidikan, keahlian (keterampilan) tertentu. Kemudian kata profesi ini berkembang lagi menjadi professional, yang berarti:
a. Bersangkutan dengan profesi;
b. Memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankan suatu pekerjaan;
c. Mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya;
d. Lawan dari amatir.
Selanjutnya istilah professional kemudian menjadi profesionalisme yang berarti mutu/kualitas dan tindak tanduk yang merupakan ciri dari suatu profesi atau orang yang professional dalam bidang atau suatu paham yang berorientasi pada kualitas kerja.[1]
Robert G. Murdick dan Joel E. Ross (1981), menyebut kriteria profesionalisme sebagai berikut:
1. Knowledge (pengetahuan).
2. Competent application (aplikasi kecakapan)
3. Social responsibility (tanggung jawab sosial)
4. Self-control (pengendalian diri)
5. Community sanction(saksi masyarakat atau sosial)
Dari pengertian atau batasan dan kriteria atau karakteristik profesi seperti dikemukakan diatas diperoleh penjelasan, bahwa profesi tidak sekedar pekerjaan apabila dijabarkan lebih lanjut memiliki karakteristik atau kriteria sebagai berikut:
1. Profesi memiliki badan pengetahuan dan teori yang esoterik artinya tidak dimiliki oleh sembarang orang kecuali yang sudah pernah mendapatkannya.
2. Profesi merupakan suatu keahlian (expertise) yang diperoleh melalui proses pendidikan formal yang ketat, melalui latihan (training) dan pengalaman dalam praktek.
3. Profesi memiliki kode etik yang kuat yang mengatur hubungan antara anggota profesional serta hubungan antara profesional dengan langganan, konsumen atau klien (clients) untuk tujuan perlindungan (protects). Karena pengetahuan profesional ahli dalam bidang khusus, langganan bergantung pada mereka mudah diserang
4. Profesi memiliki tanggung jawab dan dedikasi sosial dan institutional atau organisasi sesuai dengan kode etik.
5. Profesi memiliki perhimpunan (corporateness atau associateness) yang mendapat pengakuan dari pemerintah, masayarakat dan lingkungan.
6. Untuk memasuki profesi ditetapkan berdasarkan kriteria-kriteria dan syarat-syarat tertentu.[2]
Kanneth Blanchard dan Spenser Johnson mengajukan tiga proses sederhana untuk pengembangan sumber daya manusia secara indiviudal yang profesional. Ketiga proses itu antara lain adalah perumusan tujuan, pemberian penghargaan, dan pemberian peringatan. Hal ini didasarkan atas prinsip, bahwa feedback merupakan jalan menuju kualitas.[3]
Sementara Hamzah Ya’qub, bahwa ukuran kualitas untuk menentukan Sumber daya manusia (tenaga kerja) diperlukan tolok ukur Sebagai berikut;
1. Beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt. Faktor Iman dan taqwa merupakan fundamen kepribadian yang dapat menghasilkan pekerjaan yang bertanggung jawab.
2. Berbudi pekerti yang luhur. Iman seseorang akan memancarkan budu pekerti luhur termasuk didalamnya tanggung jawab, lurus dan jujur, istiqamah, sabar daan lain-lain sikap dan sifat yang terpuji (akhlakul karimah) yang direalisasikan dalam medan kerjanya.
3. Sehat jasmani. Setiap orang muslim perlu membina fisiknya melalui berbagai upaya, antara lain memakan makanan yang bergizi baik, olah raga, istirahat dan kerja yang seimbang. Kelesuan pisik mempengaruhi semangat kerja.
4. Sehat Rohani, Meliputi kestabilan mental dalam mengahadapi tugas pekerjaan, memiliki semangat dan gairah kerja yang selalu hidup, antusias dan sebagainya.
5. Trampil. Salah satu ukuran mutlak untuk menentukan tenaga yang berkualitas ialah ketrampilan (skill) dalam bidang tugas yang dihadapinya.[4]
[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Cet.IV; Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h.789
[2] Ulbert Silalahi, Studi Tentang Ilmu Administrasi, Konsep, Teori, dan Dimensi, (Cet.IV; Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2002), h.81-82
[3] Kanneth Blanchard dan Spenser Johnson dalam M. Munir dan W.Ilahi, op.cit, h.209
[4] Hamzah Ya’qub, Etos Kerja Islami, Petunjuk Pekerjaan yang Halal dan Haram dalam Syariat Islam, (Cet.I; Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), h. 101-102
Baca Juga Artikel :
0 komentar:
Post a Comment