Load more

Makalah Sejarah Pengumpulan dan Pembukuan Al Quran

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh dan salam sejahtera untuk kita semua, semoga apa yang kita lakukan pada kesempatan kali ini bernilai ibadah disisi Allah swt.

Salawat dan salam kita kirimkan atas junjungan Nabi Muhammad saw yang telah membawa perubahan dari dunia kegelapan menjadi dunia yang terang bercahaya.

Semoga makalah ini bisa bermanfaat untuk kita semua, terutama kepada pemakalah. Namun pemakalah menyadari bahwa karya ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, olehnya itu, jika terdapat hal-hal yang dianggap kurang atau keliru dalam hal penulisan ataupun penyampaian lisan, maka penyusun makalah tidak menutup diri untuk menerima saran ataupun kritik yang sifatnya membangun untuk perbaikan tugas-tugas selanjutnya.

Akhirnya penyusun mengucapkan terima kasih
Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatu


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latarbelakang Masalah

Pada Zaman Rasulullah, Ayat Al-Qur’an tidak dikumpulkan atau dibukunan seperti saat ini. Namun disebabkan beberapa faktor, maka ayat Al-Qur’an mulai dikumpulkan atau dibukukan, yaitu dikumpulkan didalam satu Mushaf.[1] Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Nabi hanya dilakukan pada dua cara yaitu dituliskan melalui benda-benda seperti yang terbuat dari kulit binatang, batu yang tipis dan licin, pelapah kurma, tulang binatang dan lain-lain.[2] Tulisan-tulisan dari benda-benda tersebut dikumpulkan untuk Nabi dan beberapa diantaranya menjadi koleksi pribadi sahabat yang pandai baca tulis. Tulisan-tulisan melalui benda yang berbeda tersebut memang dimiliki oleh Rasulullah namun tidak tersusun sebagaimana mushaf yang sekarang ini. Pemeliharaan ayat-ayat Al-Qur’an juga dilakukan melalui hafalan baik oleh Rasulullah maupun oleh sahabat-sahabat beliau.

Sepeninggalan Nabi pun hanya mewariskan dokument tulisan dari benda-benda sebagaimana tersebut di atas yang kemudian dipindahkan kepada Khalifah Abu Bakar As-Siddiq yang tidak lengkap. Berangkat dari bayaknya sahabat nabi yang tewas dalam peperangan (dikenal dengan perang yamamah) sebagaimana tercatat dalam sejarah bahwa jumlah penghafal Al-Qur’an yang tewas pada peperangan tersebut mecapai 70 orang. Olehnya itu muncul inisiatif dari Umar bin Khattab untuk membukukan Al-Qur’an, lalu disampaikanlah niatnya itu pada Khalifah Abu Bakar. Meskipun tidak langsung disetujui oleh Khalifah Abu Bakar, namun alasan Umar bin Khattab bisa diterima dan dimulailah pengumpulan Al-Qur’an hingga rampung. Dengan demikian, disusunlah kepanitiaan atau Tim penghimpun Al-Qur’an yang terdiri atas Zaid bin Tsabit sebagai ketua dibantu oleh Ubay bin Ka’ab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan para Sahabat lainnya sebagai Anggota.[3] Namun dengan rentan waktu yang panjang, mulai pada tanggal 12 Rabbiul Awwal tahun 11 H/632 M yang ditandai dengan wafatnya Rasulullah, hingga 23-35 H/644-656 M (masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan) atau sekitar 18 tahun setelah wafatnya Nabi barulah dibukukan Al-Qur’an yang dikenal dengan Mushaf Utsmani. Antara rentan waktu yang cukup panjang hingga beragam suku dan dialek apakah berpengaruh atas penyusunan kitab suci Al-Qur’an tentunya masih menjadi tanda tanya.

Sementara pandangan seperti di atas, umat Islam di Seluruh Dunia meyakini bahwa Al-Qur’an seperti yang ada pada kita sekarang ini adalah otentik dari Allah swt. melalui Rasulullah saw, namun cukup menarik, semua riwayat mengatakan bahwa pembukuan kitab suci itu tidak dimulai oleh Rasulullah saw, melainkan oleh para sahabat beliau, dalam hal ini khususnya Abu Bakar, Umar Bin Khattab dan Usman Bin Affan.[4]

Pesan komunikasi yang telah melewati perantara dari seorang tertahap orang lain, terlebih melewati frekuensi jumlah orang yang banyak akan meragukan keabshahan pesan alsi tersebut. Selain itu, rentan waktu yang cukup lama juga amat berpengaruh terhadap nilai dari pesan. Yang menarik adalah seperti apa membuktikan bahwa pesan Al-Qur’an adalah sesuatu yang telah ditetapkan berdasarkan ketetapan Allah!.

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari uraian di atas, maka dapat ditarik suatu permasalahan yaitu mengapa Al-Qur’an baru dibukukan pada masa Khalifah Usman bin Affan yang kemudian dikenal dengan Mushaf Usmani? Dari permasalah di atas, maka dapat dirumuskan sub masalah sebagai berikut.

1. Bagaimana proses kodifikasi Al-Qur’an dibukukan?
2. Atas dasar apa kodifikasi Al-Qur’an dilakukan?


BAB II
PEMBAHASAN


A. Pemeliharaan dan Proses Kodifikasi Al-Qur’an

Al-Qur`an merupakan kumpulan firman yang diberikan Allah sebagai satu kesatuan kitab sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat muslim. Menurut syariat Islam, kitab ini dinyatakan sebagai kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, selalu terjaga dari kesalahan, dan merupakan tuntunan membentuk ketaqwaan manusia.[5] Kumpulan firman (ayat-ayat Al-Qur’an) tersebut juga dikenal dengan Istilah Mushaf atau kumpulan dari suhuf-suhuf atau lembaran-lembaran tertulis yang disatukan.

Sejak awal pewahyuan Al-Qur’an hingga menjadi sebuah mushaf, telah melalui proses panjang. Mulai dari Ayat yang pertama turun sampai ayat yang terakhir turun, benar-benar terjaga kemurniaanya. Upaya untuk menjaga dan memelihara ayat-ayat agar tidak terlupakan atau terhapus dari ingatan terus-menerus dilakukan. Upaya-upaya tersebut dengan cara yang sederhana yaitu Nabi Menghafal Ayat-ayat itu dan menyampaikannya kepada para sahabat yang kemudian juga menghafalnya sesuai dengan yang disampaikan Nabi. Upaya kedua yang dilakukan Umat Islam dalam upaya pemeliharaan Al-Qur’an adalah mencatat atau menuliskannya dengan persetujuan Nabi.[6]

Penguatan dokumen ayat-ayat Al-Qur’an pada masa Nabi dilakukan dengan Naskah-naskah yang dituliskan untuk Nabi atas Perintah Nabi, Naskah-naskah yang ditulis oleh mereka yang pandai menulis dan membaca untuk mereka masing-masing serta hafalan dari mereka yang hafal Al-Qur’an.[7]

Untuk Nabi sendiri, juga menghafal Al-Qur’an dan dipandu langsung oleh Jibril (repetisi) sekali setahun. Diwaktu ulangan itu, Rasulullah disuruh mengulang memperdengarkan Al-Qur’an yag telah diturunkan. Nabi sendiri sering mengadakan ulangan itu terhadap sahabat-sahabatnya, maka sahabat-sahabat itu disuruh oleh beliau membaca Al-Qur’an dihadapan beliau dengan tujuan membetulkan bacaan mereka jika ada yang salah.[8]

Tentang penulisan wahyu pada masa Rasulullah, ada informasi yang cukup ekstensif mengenai bahan-bahan yang digunakan sebagai media untuk menuliskan wahyu yang turun dari langit melalui Muhammad saw. Dalam suatu cacatan, disebutkan bahwa sejumlah bahan yang ketika itu digunakan untuk menyalin wahyu-wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad,[9] yaitu:

1. Riqa, atau lembaran lontar atau perkamen;
2. Likhaf, atau batu tulis berwarna putih, terbuat dari kepingan batu kapur yang terbelah secara horizontal lantaran panas;
3. ‘Asib, atau pelapah kurma, terbuat dari bagian ujung dahan pohon kurma yang tipis;
4. Aktaf, atau tulang belikat, biasanya terbuat dari tulang belikat unta;
5. Adlla’ atau tulang rusuk, biasaya juga terbuat dari tulang rusuk unta;
6. Adim, atau lembaran kulit, terbuat dari kulit binatang asli yang merupakan bahan utama untuk menulis ketika itu.

Melalui data tertulis pada media seperti di atas, salah satu sumber mengatakan bahwa sebelum Mushaf seperti yang kita gunakan sekarang untuk seluruh umat Islam ternyata banyak versi yang hampir susunannya berbeda maupun kronologis turunnya ayat. Secara umum, Mushaf-mushaf tersebut dibagi berdasarkan Mushaf-Mushaf Primer dan Mushaf-mushaf sekunder. Mushaf primer adalah mushaf Independen yang dikumpulkan secara individual oleh sejumlah sahabat nabi sedangkan mushaf sekunder adalah mushaf generasi selanjutnya yang bergantung pada mushaf primer. Mushaf-mushaf tersebu adalah, Mushaf-mushaf primer yang dimiliki oleh Mushaf Salim ibn Ma’qil, Mushaf Umar bin Khattab, Mushaf Ubai bin Ka’ab, Mushaf Ibn Mas’ud, Mushaf Ali bin Abi Thalib, Mushaf Abu Musa al-Asy’ari, Mushaf Hafsah binti Umar, Mushaf Zayd ibn Tsabit, Mushaf Aisyah binti Abu Bakar, Mushaf Ummu Salamah, Mushaf Abd Allah ibn Amr, Mushaf Ibnu Abbas, Mushab ibn Zubayr, Mushaf Ubayd ibn ‘Umair dan Mushaf Anas ibn Malik yang kesemuanya berjumlah 15 versi mushaf. Sementara itu, juga terdapat 13 jumlah mushaf sekunder. Diantara mushaf-mushaf tersebut adalah Mushaf Alqama bin Qais, Mushaf Al-Rabi’ Ibn Khutsaim, Mushaf Al-Haris ibn Suwaid, Mushaf Al-Aswad ibn Yazid, Mushaf Hithan, Mushaf Thalhah ibn Musharrif, Mushaf Al-A’masy, Mushaf Sa’id ibn Jubair, Mushaf Mujahid, Mushaf Ikrimah, Mushaf Atha’ Ibn Abi Rabah, Mushaf Shalih Ibn Kaisan dan Mushaf Ja’far al-Shadiq.[10]

Data yang didapatkan adalah setiap sahabat yang memiliki mushaf ternyata selalu ada perbedaan penempatan urutan surat, kaidah bacaan yang berbeda begitupun catatan tentang kronologis turunnya ayat. Salah satu contoh perbedaan mushaf tersebut adalah Ibn al-Nadim mendaftar jumlah seluruh surat yang ada di mushaf Ibn Mas’ud 110, tetapi yang ditulis dalam al-Fihrist hanya 105 surat. Selain 3 surat di atas, surat al-Hijr, al-Kahfi, Toha, al-Naml, al-Syura, al-Zalzalah tidak disebutkan. Tetapi keenam surat yang akhir ini ditemukan dalam al-Itqan, justru yang tidak ada dalam daftar al-Suyuthi adalah surat Qaf, al-Hadid, al-Haqqah, dan 3 surat yang disebutkan di atas, sehingga menurut daftar al-Suyuthi berjumlah 108 surat. Diduga kuat perbedaan laporan ini kesalahan penulisan belaka, karena keenam surat yang hilang dalam al-Fihrist ditemukan dalam al-Itqan, begitu juga dengan 3 surat yang tidak ada dalam al-Itqan.[11] Contoh lain dapat dilihat pada Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an karya Taufik Adnan Amal yang secara rinci memperlihatkan data-data dalam bentuk tabel dan naratif mengenai perbedaan mushaf tersebut. Pembahasan yang menampilakan uraian tentang mushaf-mushaf yang ada sebelum Mushaf Utsman bin Affan tersebut terletak pada halaman 157 sampai 195.

Lantaran keadaan yang berbeda berdasarkan latarbelakang masing-masing sahabat, termasuk perbedaan suku yang menyebabkan dialeg juga berbeda merupakan salah satu sebab adanya Penyatuan Mushaf. Ditambah faktor-faktor eksternal, misalnya karena banyaknya sahabat-sahabat penghafal yang gugur dalam medan perang. Berangkat dari persoalan tersebut, Umar bin Khattab mengadukan persoalan ini pada Khalifah Abu Bakar. Meskipun pada awalnya ditolak, namun karena usaha yang serius sehingga pada masa itu dibentuk kepanitiaan dalam mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an. Al-Qur’an yang telah dikumpulkan tersebut baru dibukukan pada masa kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan.

B. Pembukuan Al-Qur’an

Sebagaimana telah dibahas di atas bahwa pengumpulan (dalam artian usaha atau upaya pemeliharaan) Al-Qur’an telah dilakukan sejak Nabi Muhammad saw. Media pengumpulan Al-Qur’an dilakukan melalui Tulisan pada beberapa benda berupa batu licin, pelapa kurma, kulit kayu dan lain-lain yang ditulis khusus untuk Nabi. Dokumen yang dikumpulkan tersebut diperkuat oleh beberapa tulisan lain yang dikoleksi oleh sahabat-sahabat Nabi untuk diri mereka sendiri. Disamping itu, hapalan sahabat-sahabat yang dipandu langsung oleh Nabi juga menjadi penguat keabsahan dokumen Al-Qur’an sebagai suatu kitab yang utuh.[12]

Pembukuan Al-Qur’an dilakukan secara tersusun berdasarkan Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas dari Utsman bin Affan bahwa apabila diturunkan kepada Nabi suatu wahyu, ia memanggil sekretaris untuk menuliskannya, kemudian bersabda “letakkanlah ayat ini dalam surat yang menyebutkan begini atau begitu”.[13] Pembukuan Al-Qur’an tersebut tidak disusun berdasarkan kronologis turunnya wahyu.

Upaya pembukuan Al-Qur’an melalui satu versi bacaan untuk seluruh umat Islam dilatar belakangi oleh karena di setiap wilayah terkenal qira’ah sahabat yang mengajarkan Alquran kepada setiap penduduk di wilayah tersebut. Penduduk Syam memakai qira’ah Ubay bin Ka‘b, yang lainnya lagi memakai qira’ah Abu Musa al-Asy’ary. Maka tidak diragukan timbul perbedaan bentuk qira’ah di kalangan mereka, sehingga membawa kepada pertentangan dan perpecahan di antara mereka sendiri. Bahkan terjadi sebagian mereka mengkafirkan sebagian yang lain, disebabkan perbedaan qira’ah tersebut.

Itulah sebabnya Khalifah ‘Utsman kemudian berpikir dan merencanakan untuk mengambil langkah-langkah positif sebelum perbedaan-perbadaan bacaan itu lebih meluas. Usaha awal yang dilakukannya adalah mengumpulkan para sahabat yang alim dan jenius serta mereka yang terkenal pandai memadamkan dan meredakan persengketaan itu. Mereka sepakat menerima instruksi ‘Utsman, yakni membuat Mushaf yang banyak, lalu membagi-bagikannya ke setiap pelosok dan kota, sekaligus memerintahkan pembakaran selain Mushaf itu, sehingga tidak ada lagi celah yang menjerumuskan mereka ke persengketaan dalam bentuk-bentuk qira’ah.

Karena itulah pulalah, ‘Utsman mengirim utusan kepada Hafshah guna meminjam Mushaf yang terwariskan dari ‘Umar. Dari Mushhaf tersebut, lalu dipilihnya tokoh andal dari kalangan senior sahabat untuk memulai rencananya. Pilihannya jatuh kepada Zayd bin Stabit, ‘Abdullah bin Zubayr, Sai‘id bin ‘Ash dan ‘Abdurrahman bin Hisyam mereka dari suku Quraisy, golongan Muhajirin, kecuali Zayd bin Tsabit, ia golongan Anshar. Usaha yang mulia ini berlangsung pada tahun 24 H. Sebelum memulai tugas ini, ‘Utsman berpesan kepada mereka :

إِذَا اِخْتَلَفْتُمْ اَنْتُمْ وَزَيْدٌ بِنْ ثَابِتْ فِى شَيْئٍ، فَكْتُبُوْهُ بِلِسِانِ قُرَيْشٍ، فَإِنَّهُ إِنَّمَا نَزَّلَ بِلِسَانِهِمْ

Terjemahnya : Jika kalian berselisih pendapat dalam qira’ah dengan Zayd bin Stabit, maka hendaklah kalian menuliskannya dengan lughat Quraisy, karena sesungguhnya Alquran diturunkan dengan bahasa mereka.[14]

Setelah memahami pesan di atas, bekerjalah tim ini dengan ekstra hati-hati, yang kemudian melahirkan satu Mushaf yang satu dan dianggap sempuna. Mushhaf ini digandakan dan dikirim ke daerah-daerah untuk disosialsikan kepada masyarakat demi meredam perbedaan bacaan di antara mereka. Sedangkan Mushhaf yang lainnya dibakar, kecuali yang dimiliki Hafshah dikembalikan kepadanya.

Mengenai sistematika surat dalam Al-Qur’an, apakah taqifi atau taufiqi menjadi perdebatan sejak dahulu dan perdebatan tersebut belum berakhir pada saat ini. Pendapat yang pertama, bahwa Al-Qur’an adalah hasil tauqif Nabi artinya susunan atau ututan surat didapat melalui ajaran beliau. Pendapat yang pertama ini berdasarkan ungkapan Ibnu Al-Hasshar yang dikutip dari buku karya Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA. mengatakan “urutan surat dan letak ayat-ayat pada tempatnya itu berdasarkan wahyu”. Rasulullah saw. Letakkan ayat ini pada tempat ini.[15]

Pendapat yang kedua yaitu pandangan yang mengatakan bahwa urutan surat Al-Qur’an adalah berdasarkan Ijtihad sahabat. Pendapat ini disandarkan pada banyaknya mushaf yang dimiliki oleh sahabat yang berbeda, ada yang tertib urutannya seperti mushaf yang dikenal saat sekarang ini, ada pula yang tertibnya berdasarkan kronologis turunnya ayat.[16] Pendapat yang kedua ini juga diperkuat oleh Teks Hadist Mutawatir mengemukakan mengenai turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf.

Sebagai rujukan, Ibnu Abbas Radiallahu Anhuma berkata, sebagaimana dikutif dari karya Syaikh Manna’ Al-Qaththan dengan Judul Pengantar Study Ilmu Al-Qur’an bahwa; Rasulullah saw. Bersabda.[17]

“Jibril membacaka kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku meminta agar huruf itu ditambah, iapun menambahkannya kepadaku hingga tujuh huruf”

Dalam riwayat lain, disebutkan Umar bin Al-Khattab , ia berkata, “Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca surat al-Furqan dimasa hidup rasulullah. Aku perhatikan bacaannya. Tiba-tiba ia membacanya dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja saya melabraknya saat ia sholat tetapi aku urungkan. Maka aku menunggunya hingga ia selesai sholat. Begitu selesai, aku tarik pakaiannya dan aku katakan kepadanya, “siapakah yang mengajarkan bacaan surat itu kepadamu?” ia menjawab, Rasulullah yang membacakannya kepadaku. Lalu aku katakan kepadanya kamu dusta! Demi Allah, Rasulullah telah membacakannya juga kepadaku surat yang sama, tetapi tidak seperti bacaanmu. Namun ketika masalah ini diperhadapkan kepada Rasulullah saw. Rasulullah membenarkan apa yang dibacakan oleh sahabat berdarakan qiraat yang paling mudah dipahami. Rasulullah saw. Berkata “begitulah surat itu diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu diantaranya”.[18]

Dapatlah dipahami bahwa penulisan teks-teks Alquran pada masa Utsman merupakan masa pembentukan naskah resmi, yang dimaksudkan untuk meredam berbagai kevariasian dalam pembacaannya. Berkat usaha Utsman inilah, Alquran yang terwariskan sampai saat ini biasa pula disebut dengan Mushaf Utsmani.


BAB III
PENUTUP

Sebagai catatan penutup tentang sejarah penumpulan atau kodifikasi al-Qur’an ini, poin penting sebagai jawaban atas permasalahan (Rumusan Masalah) tersebu di atas adalah sebagai berikut:

1. Pengkodifikasian dan penulisan Alquran pada masa Nabi saw terkumpul dalam hapalan dan ingatan, serta catatan yang masih berserakan. Pada masa Abu Bakar, di samping terkumpul dalam hapalan, juga dikumpulkan shahifah-shahifah yang terpisah-pisah. Kemudian pada masa Umar, shahifah-shahifah tersebut ditulis dalam satu mushhaf. Selanjutnya, pada masa ‘Utsman, semua hapalan sahabat dan Mushhaf yang diwariskan oleh Umar, ditata ulang dan dicatat dalam satu dialek qira’ah yang melahirkan suatu Mushhaf disebut dengan Mushhaf Imam.

2. Dapatlah dipahami bahwa penulisan teks-teks Alquran pada masa Utsman merupakan masa pembentukan naskah resmi, yang dimaksudkan untuk meredam berbagai kevariasiaan dalam pembacaannya.

Demikianlah Penyusunan makalah ini disusun, sebagai cacatan penutup bahwa pemakalah menyadari akan banyaknya kekurangan dan kelemahan pada karya tulis ini, olehnya itu pemakalah berharap agar ada kritik, saran atau masukan yang sifatnya membangun untuk perbaikan makalah ini. Ucapan terima kasih kepada Dosen pembimbing mata kuliah Pendekatan dalam Pengkajian Islam serta teman-teman peserta seminar yang telah mengikuti seminar ini dengan serius, terakhir adalah permohonan maaf jika sekiranya apa yang disajikan oleh pemakalah, terdapat kekurangan dan kekeliruan didalamnya.


DAFTAR PUSTAKA


Adnan Amal, Taufik, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Cet. I; Penerbit Forum Kajian Budaya dan Agama, Yogyakarta. Tahun 2001

Al-Qathnhan, Syaikh Manna’. Pengantar Studi Ilu Al-Qur’an, Jakarta; Pustaka Al-Kautsar, Pebruari 2012.

Atang, Abdul Hakim, Methodologi Study Islam, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT. Karya Toha Putra; Semarang. 2002.

Ensiklopedia Untuk Anak-anak Muslim, Grasindo

Http://id.wikipedia.org/wiki/Kitab_Allah, Wikipedia – Ensiklopedia Bebas (Kitab Allah), 19 Mei 2012.


Http://Ealah.Blogspot.Com/2008/04/Upaya-Sahabat-Dalam-Pengumpulan-Mushaf.Html Upaya Sahabat Dalam Pengumpulan Mushaf Pribadi Pra-Utsmani, oleh Nashif Ubadah; 19 Mei 2012.

Khalid, H.M. Rusdi, Mengkaji Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Cet I; Alauddin Universiti Press, Makassar 2011

Majid, Nurcholish, Islam Agama Peradaban (Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah), Cet. II; Paramadina, Jakarta. 2000.

Manna’ al-Qaththan Mabahits Fiy ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Mansyurat al-‘Asr al-Hadits, t.th.).

Umar, H. Nasaruddin .Ulumul Qur’an (mengungkap makna-makna tersembunyi Al-Qur’an), Jakarta, Al-Gazali Centre, Juli 2008.

--- CATATAN KAKI ---

[1] Ensiklopedia Untuk Anak-anak Muslim, Grasindo h. 38

[2] Ibid h. 21

[3] Atang Abdul Hakim, Methodologi Study Islam, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, h. 76

[4] NurCholish Majid, Islam Agama Peradaban (Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah), Cet. II; Paramadina, Jakarta. 2000. h. 4

[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Kitab_Allah, Wikipedia – Ensiklopedia Bebas (Kitab Allah), 19 Mei 2012.

[6] H.M. Rusdi Khalid, Mengkaji Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Cet I; Alauddin Universiti Press, Makassar 2011. h. 55

[7] Departemen Agama Republik Indonesia, Muqaddimah Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT. Karya Toha Putra; Semarang. 2002. h. 19

[8] Ibid, h. 20

[9] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Cet. I; Penerbit Forum Kajian Budaya dan Agama, Yogyakarta. 2001, h. 151

[10] Taufik Adnan Amal, Op Cit, h. 158-159

[11] Http://Ealah.Blogspot.Com/2008/04/Upaya-Sahabat-Dalam-Pengumpulan-Mushaf.Html Upaya Sahabat Dalam Pengumpulan Mushaf Pribadi Pra-Utsmani, oleh Nashif Ubadah; di download pada tanggal 19 juni 2012 pukul 24.00.

[12] Departemen Agama Republik Indonesia, Op Cit h. 19

[13] aufik Adnan Amal, Op Cit, h. 132

[14] Manna’ al-Qaththan Mabahits Fiy ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Mansyurat al-‘Asr al-Hadits, t.th.), h. 128.

[15] H. Nasaruddin Umar, Ulumul Qur’an (mengungkap makna-makna tersembunyi Al-Qur’an), Jakarta, Al-Gazali Centre, Juli 2008. H. 152

[16] Ibid. h. 153


[17] Syaikh Manna’ Al-Qathnhan, Pengantar Studi Ilu Al-Qur’an, Jakarta; Pustaka Al-Kautsar, Pebruari 2012. H. 195


[18] Ibid h. 196

0 komentar:

Post a Comment