Dalam pengelolaan sebuah organisasi, hal yang sangat perlu menjadi fokus perhatian adalah prinsip-prinsip yang harus dijadikan pola dasar sebuah organisasi, kehadirannya semakin menjadi sebuah kebutuhan kalau pelaksanaan kegiatan selalu ada tuntutan kerja secara kolektifitas.
Oleh karena prinsip-prinsip tersebut menjadi acuan untuk terlaksananya program-program kegiatan (rencana kerja) dalam rangka tercapainya tujuan organisasi itu sendiri.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, dikatakan bahwa prinsip adalah dasar berfikir, bertindak dan sebagainya.[1]
Menurut Max Weber sebagaimana dikutip oleh Ibnu Syamsi bahwa prinsip organisasi adalah:
1. Semua kegiatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan organisasi harus didasarkan keahlian, sehingga pemegang jabatan mampu menjalankan tugas dengan baik.
2. Pelaksanaan tugas pekerjaan harus sesuai dengan kebijaksanaan, peraturan dan prosedurnya.
3. Setiap pelaksanaan tugas pekerjaan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada atasan melalui mata rantai tingkat unit dalam organisasi.
4. Semua keputusan harus diambil secara formal dan tidak ada pertimbangan yang bersifat pribadi.
5. Hal-hal yang menyangkut bidang kepegawaian harus didasarkan pada sistem kecakapan (Merit Sistem).[2]
Pemahaman keperilakuan demikian dapat terwujud, menurut Sondang P. Siagian dengan mendalami lima belas prinsip organisasi, sebagaimana berikut ini, yakni:
1. Kejelasan tujuan yang ingin dicapai.
2. Pemahaman tujuan oleh para anggota organisasi.
3. Penerimaan tujuan oleh para anggota organisasi.
4. Adanya kesatuan arah.
5. Kesatuan perintah.
6. Fungsionalisasi.
7. Deliniasi berbagai tugas.
8. Keseimbangan antara wewenang dan tanggungjawab.
9. Pembagian tugas.
10. Kesederhanaan struktur.
11. Pola dasar organisasi yang relatif permanen.
12. Adanya pola pendelegasian wewenang.
13. Rentang pengawasan.
14. Jaminan pekerjaan.
15. Keseimbangan antara jasa dan imbalan.[3]
Dari sejumlah prinsip-prinsip organisasi yang telah dikemukakan di atas, penulis ingin lebih memperjelas dengan merujuk kepada pandangan beberapa ahli sebagai berikut:
1. Kejelasan tujuan yang ingin dicapai.
Menurut Ibnu Syamsi bahwa, tujuan harus terinci dan jelas, termasuk juga jelas batas-batasnya, perumusan tujuan tersebut dalam prakteknya dijabarkan pada tugas pokok.[4]
A.S. Wahyudi bahwa penentuan tujuan sangat penting dilakukan agar langkah-langkah yang hendak dilakukan menjadi terarah (tidak tersesat) akhirnya dapat melakukan efesiensi dalam pelaksanaannya.[5]
Oleh karena merupakan landasan dan arah setiap kegiatan organisasi. Tujuan merupakan landasan untuk menentukan kebijaksanaan organisasi, dalam membentuk struktur yang akan dicapai, tata kerja serta aktivitas-aktivitas yang harus dilaksanakan. Perumusan tujuan harus jelas, menurut Djatmiko artinya bahwa tujuan ini harus dipahami dan diterima oleh semua pihak.[6]
2. Pemahaman tujuan oleh para anggota organisasi.
Persoalan yang termasuk penting dalam hal ini adalah adanya tujuan yang dapat dipahami oleh setiap orang dalam organisasi, berhubung karena tujuan dapat dipahami, pada gilirannya akan memudahkan tujuan organisasi tersebut akan diterima.
Menurut Sodang P. Siagian, dinyatakan dengan cara lain, yakni Persoalan yang termasuk penting dalam hal ini adalah adanya tujuan yang yang jelas dan dapat dipahami oleh setiap orang dalam organisasi, berhubung karena tujuan yang jelas dan dapat dipahami, pada gilirannya akan memudahkan tujuan organisasi tersebut akan diterima Persoalan yang termasuk penting dalam hal ini adalah adanya tujuan yang jelas dan dapat dipahami oleh setiap orang dalam organisasi, berhubung karena tujuan yang jelas dan dapat dipahami, pada gilirannya akan memudahkan tujuan organisasi tersebut akan diterima harus terjadi harmonisasi antara tujuan-tujuan pribadi dari setiap anggota organisasi dengan tujuan organisasi bersangkutan. Oleh karena demikian, maka yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa tujuan organisasi harus menampung pula tujuan-tujuan pribadi dari setiap dan semua anggota organisasi sebagai keseluruhan.[7]
3. Penerimaan tujuan oleh para anggota organisasi.
Ada beberapa hal diterimanya tujuan organisasi menurut Widjaja yakni: Pertama, Mengetahui apa yang diharapkan oleh organisasi dari masing-masing mereka. Kedua, dapat memahami apa yang mereka harapkan dari organisasi. Ketiga, dapat menilai apakah tujuan organisasi itu selaras dengan tujuan pribadi mereka. Keempat, jika belum selaras, maka dapat meneruskan apakah mereka akan tingkatkan organisasi tersebut.[8]
4. Adanya kesatuan arah.
Untuk maksud tersebut, tujuan yang ingin dicapai perlu dinyatakan dengan jelas dan eksplisit karena apapun yang kemudian terjadi dalam organisasi dan kegiatan apapun yang diselenggarakan, harus berkaitan langsung dengan tujuan yang telah ditentukan.[9]Oleh karena itu, adanya kejelasan tujuan yang akan dicapai sebuah organisasi, kemudian adanya pemahaman anggota-anggota dan kelompok dalam organisasi tersebut, akan mengikat individu dan kelompok-kelompok yang dimaksud, yang pada gilirannya akan mendorong adanya kesatuan arah.
5. Kesatuan perintah.
Menurut Ibnu Syamsi, bahwa setiap bawahan memang sebaiknya hanya mempunyai satu atasan yang boleh memerintah sekaligus wajib memberikan pengarahan. Kalau yang memerintah seorang bawahan, maka kemungkinan besar akan terjadi kebingungan, apalagi kalau perintahnya saling bertentangan. Kenyataannya ada juga satu bawahan yang mempunyai lebih dari satu atasan. Misalnya pucuk pimpinan yang bersifat kolegial, mempunyai seorang pesuruh. Dalam hal yang demikian itu, kalau memberikan perintah harus diatur sedemikian rupa hingga tidak saling bertentangan.[10]
6. Fungsionalisasi.
Bahwa dalam setiap organisasi terdapat satuan kerja tertentu yang secara fungsional bertanggungjawab atas penyelesaian tugas-tugas tertentu pula. Penerapan prinsip ini sangat bermanfaat untuk berbagai kepentinagn seperti: a). mencegah timbulya tumpang tindih, b). mencegah timbulnya duplikasi. c). mempermudah pelaksanaan kordinasi antar satuan keja karena satuan kerja yang secara bertanggung jawab atas kegiatan tertentulah yang berperan sebagai koordinator, memperlancar jalannnya pengawasan.[11]
7.Deliniasi berbagai tugas.
Yang dimaksud dengan prinsip ini ialah adanya perumusan yang jelas dari uraian tugas, bukan hanya dari satuan-satuan kerja yang terdapat dalam organisasi akan tetapi juga uraian tugas setiap anggota organisasi. Sarana kerja apa yang diperlukan dan kepada siapa ia mempertanggung jawabkan hasil pekerjaannya. Disamping keuntungan di atas, ada manfaat lain yang dapat dipetik, yang sifatnya psikologis. Yang dimaksud ialah bahwa para anggota organisasi diberi kesempatan untuk menggunakan daya inovasi dan kreativitasnya dalam pelaksanaan tugas yang sangat teknis sekalipun karena adanya kejelasan tentang apa yang diharapkan dari padanya.[12]
7. Keseimbangan antara wewenang dan tanggung jawab.
Wewenang merujuk pada hak-hak yang melekat dalam sebuah posisi manajerial untuk memberikan perintah yang harus ditaati. Organisasi memberikan kepada setiap posisi manajerial dalam struktur organisasi suatu tempat dalam rantai komando, dengan menganugrahi setiap manajer dengan kadar wewenang tertentu untuk memenuhi tanggung jawabnya.[13]
8. Pembangian tugas.
Bila ada kejelasan tentang siapa mengerjakan apa, maka kelompok akan lebih berhasil guna dan berdaya-guna karena baik cara kerjanya.[14]
Pengalaman menunjukkan bahwa tugas-tugas yang harus dikerjakan dalam dan oleh satu organisasi beranekaragam. Seperti terlihat dimuka, berbagai kegiatan itu dapat dikategorikan kepada dua jenis utama, yaitu kegiatan-kegiatan yang berupa tugas pokok dan kegitan-kegiatan penunjang. Kesemuanya itu diserahkan pelaksanaannya kepada satuan-satuan kerja dalam organisasi yang jumlah dan strukturnya disesuaikan dengan beban kerja yang harus dipikul.[15]
9. Kesederhanaan struktur.
Sesungguhnya prinsip ini berkaitan erat dengan pemilihan tipe organisasi yang dipandang paling tepat digunakan sebagai wadah penyelenggaraan bebagai kegiatan dalam rangka pencapaian tujuan. Yang perlu ditekankan sekarang ialah bahwa penstrukturan berbagai kegiatan organisional harus disesuaikan dengan berbagai hal, seperti:
a. Beban tugas yang diemban.
b. Tingkat kematangan teknis para tenaga pelaksana.
c. Jenis teknologi yang digunakan.
d. Sifat kegiatan yang perlu dilaksakan, apakah lebih bersifat rutin dan repetitif ataukah menuntut daya inofatif dan kreatif yang tinggi.
e. Kebijaksanaan pimpinan organisasi tentang pola pengambilan keputusan, apakah sentralistik atau desentralisrtik.
Yang jelas struktur organisasi harus disusun sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan dan usaha koordinasi dapat berjalan dengan lancar.[16]
10. Pola dasar organisasi yang relatif permanen.
Merupakan kenyataan bahwa organisasi selalu menghadapi berbagai jenis perubahan, baik karena faktor-faktor internal maupun karena factor-faktor eksternal. Berbagai factor itu dapat berakibat pada mekarnya organisasi. Misalnya karena otomasi atau robotisasi, berkurangnya kegiatan, pengurangan jumlah tenaga kerja, melemahnya kegiatan ekonomi, perubahan dibidang politik dan lain-lain sebagainya.[17]
11. Adanya pola pendelegasian wewenang.
Untuk dapat menjalankan tugasnya dengan baik, maka kepada para petugas atau pejabat yang harus dilimpahi wewenang. Sebagai konsekuwensi itu harus disertai pertanggung jawaban yang sepadam. Wewenang yang dilimpahkan itu meliputi wewenang untuk menjalankan tugasnya, wewenang untuk memerintah bawahannya dan wewenang untuk menggunakan fasilitas/peralatan yang dibutuhkan. Atasan harus percaya sepenuhnya bahwa bawahan yang dilimpahi weweanng ia mampu untuk melaksanakan tugasnya dengan baik.[18]
12. Rentang pengawasan.
Merupakan hal yang sangat sukar dan bahkan tidak mungkin untuk menentukan secara oksiomatik jumlah orang yang dapat diawasi oleh seorang manejer secara efektif dalam melaksanakan semua jenis kegiatan disemua jenis organisasi. Yang jelas kemampuan seorang manejer melakukan pengawasan selalu terbatas. Akan tetapi dengan keterbatasan kemampuan itu dapat dinyatakan bahwa rentang pengawasan bersifat elastic. Artinya, jumlah bawahan yang dapat diawasi secara efektif oleh seorang manajer berbeda pada satu situasi ke situasi yang lain, dan dari satu organisasi ke organisasi yang lain.[19]
13. Jaminan pekerjaan
Para manajer diharapkan untuk tidak memperlakukan para bawahannya dengan semena-mena, misalnya melakukan pemutusan kerja tanpa dasar yang sangat kuat. Dengan perkataan lain, selama seorang melakukan tugasnya sesuai dengan berbagai ketentuan yang berlaku dalam organisasi, ada jaminan bahwa seseorang tidak akan kehilangan pekerjaan yang menjadi sumber mata pencaharian baginya yang pada gilirannya memungkinkan akan memuaskan bebagai kebutuhannya terutama yang bersifat kebendaan dan social.[20]
14. Keseimbangan antara jasa dan imbalan.
Jika balas jasa yang diterima karyawan semakin besar, pemenuhan kebutuhan yang dinikmatinya semakin banyak pula. Dengan demikian maka kepuasan kerja juga semakin-baik.[21]
Menurut Siagian, bahwa sistem imbalan yang mengandung prinsip keadilan yang dimaksud bahwa secara internal para pegawai yang melaksanakan tugas yang sejenis mendapat imbalan yang sama pula.[22]
Berdasarkan uraian yang telah diemukakan di atas dapat dipahami bahwa prinsip organisasi yang dimaksud adalah pola dasar sebagai acuan, baik berfikir berbuat, bertidak dalam pelaksanaan kegiatan secara kolektifitas, agar pegelolaan dan pencapaian tujun bisa efesien dan efektif serta produktif.
[1]Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar bahasa Indonisia (Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h.701
[2]Ibnu Syamsi, Pokok-pokok Organisasi dan Manajemen, (Cet.III; Jakarta: Renika Cipta, 1994), h.147
[3]Sondang P. Siagian,Fungsi-fungsi Manajerial, (Cet.III; Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 94
[4]Ibnu Syamsi, 3. 3op. cit, h.15
[5]A.S. Wahyudi, Manajemen Strategi, Pengantar, Proses Berpikir Strategi (Cet. I; Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1996) h. 38
[6]Yayat Hayati Djatmiko, Perilaku Organisasi (Cet.III; Bandung: Alfabeta, 2002), h.3
[7]Sondang P. Siagian, Organisasi Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi (Cet. XIV; Jakarta: Toko Gunung Agung, 1997), h. 155
[8]A. W. Wijaya, Kelembagaan dan Organisasi (Cet. I; Jakarta: PT. Bina Aksara, 1988), h. 33
[9]S.P. Siagian, Manajemen Strategik (Cet.I; Jakarta: Bumi Aksara, 1985), h.230
[10]Ibnu Syamsi, op. cit, h. 30
[11]Sondang P. Siagian,Fungsi-fungsi Manajerial, op. cit, h.99
[12]Ibid, h. 100
[13]M. Munir dan Wahyu Ilahi, Manajemen Dakwah (Cet. II; Jakarta: Kencana, 2009), h. 127
[14]Azhar Arsyad, Pokok-pokok Manajemen, Pengetahuan Praktis bagi Pimpinan dan eksikutif (Cet. I; Ujung pandang: 1996), h. 22
[15]Sondang P, Siagian Fungsi-fungsi Manajerial, op. cit, h. 101
[16]Ibid, h.102-103
[17]Ibid, 104
[18]Ibnu Syamsi, op. cit, h. 20
[19]S.P. Siagian, op. cit, h.106
[20]Ibid, 107
[21]Malayu.P.Hasibuan, manajemen Sumber daya manusia (Cet.II; Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 117.
[22]S.P.Siagian, Manajemen Sumber daya manusia, (Cet. IX; Jakarta: Bumi Aksara, 2001), h.255
Oleh karena prinsip-prinsip tersebut menjadi acuan untuk terlaksananya program-program kegiatan (rencana kerja) dalam rangka tercapainya tujuan organisasi itu sendiri.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, dikatakan bahwa prinsip adalah dasar berfikir, bertindak dan sebagainya.[1]
Menurut Max Weber sebagaimana dikutip oleh Ibnu Syamsi bahwa prinsip organisasi adalah:
1. Semua kegiatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan organisasi harus didasarkan keahlian, sehingga pemegang jabatan mampu menjalankan tugas dengan baik.
2. Pelaksanaan tugas pekerjaan harus sesuai dengan kebijaksanaan, peraturan dan prosedurnya.
3. Setiap pelaksanaan tugas pekerjaan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada atasan melalui mata rantai tingkat unit dalam organisasi.
4. Semua keputusan harus diambil secara formal dan tidak ada pertimbangan yang bersifat pribadi.
5. Hal-hal yang menyangkut bidang kepegawaian harus didasarkan pada sistem kecakapan (Merit Sistem).[2]
Pemahaman keperilakuan demikian dapat terwujud, menurut Sondang P. Siagian dengan mendalami lima belas prinsip organisasi, sebagaimana berikut ini, yakni:
1. Kejelasan tujuan yang ingin dicapai.
2. Pemahaman tujuan oleh para anggota organisasi.
3. Penerimaan tujuan oleh para anggota organisasi.
4. Adanya kesatuan arah.
5. Kesatuan perintah.
6. Fungsionalisasi.
7. Deliniasi berbagai tugas.
8. Keseimbangan antara wewenang dan tanggungjawab.
9. Pembagian tugas.
10. Kesederhanaan struktur.
11. Pola dasar organisasi yang relatif permanen.
12. Adanya pola pendelegasian wewenang.
13. Rentang pengawasan.
14. Jaminan pekerjaan.
15. Keseimbangan antara jasa dan imbalan.[3]
Dari sejumlah prinsip-prinsip organisasi yang telah dikemukakan di atas, penulis ingin lebih memperjelas dengan merujuk kepada pandangan beberapa ahli sebagai berikut:
1. Kejelasan tujuan yang ingin dicapai.
Menurut Ibnu Syamsi bahwa, tujuan harus terinci dan jelas, termasuk juga jelas batas-batasnya, perumusan tujuan tersebut dalam prakteknya dijabarkan pada tugas pokok.[4]
A.S. Wahyudi bahwa penentuan tujuan sangat penting dilakukan agar langkah-langkah yang hendak dilakukan menjadi terarah (tidak tersesat) akhirnya dapat melakukan efesiensi dalam pelaksanaannya.[5]
Oleh karena merupakan landasan dan arah setiap kegiatan organisasi. Tujuan merupakan landasan untuk menentukan kebijaksanaan organisasi, dalam membentuk struktur yang akan dicapai, tata kerja serta aktivitas-aktivitas yang harus dilaksanakan. Perumusan tujuan harus jelas, menurut Djatmiko artinya bahwa tujuan ini harus dipahami dan diterima oleh semua pihak.[6]
2. Pemahaman tujuan oleh para anggota organisasi.
Persoalan yang termasuk penting dalam hal ini adalah adanya tujuan yang dapat dipahami oleh setiap orang dalam organisasi, berhubung karena tujuan dapat dipahami, pada gilirannya akan memudahkan tujuan organisasi tersebut akan diterima.
Menurut Sodang P. Siagian, dinyatakan dengan cara lain, yakni Persoalan yang termasuk penting dalam hal ini adalah adanya tujuan yang yang jelas dan dapat dipahami oleh setiap orang dalam organisasi, berhubung karena tujuan yang jelas dan dapat dipahami, pada gilirannya akan memudahkan tujuan organisasi tersebut akan diterima Persoalan yang termasuk penting dalam hal ini adalah adanya tujuan yang jelas dan dapat dipahami oleh setiap orang dalam organisasi, berhubung karena tujuan yang jelas dan dapat dipahami, pada gilirannya akan memudahkan tujuan organisasi tersebut akan diterima harus terjadi harmonisasi antara tujuan-tujuan pribadi dari setiap anggota organisasi dengan tujuan organisasi bersangkutan. Oleh karena demikian, maka yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa tujuan organisasi harus menampung pula tujuan-tujuan pribadi dari setiap dan semua anggota organisasi sebagai keseluruhan.[7]
3. Penerimaan tujuan oleh para anggota organisasi.
Ada beberapa hal diterimanya tujuan organisasi menurut Widjaja yakni: Pertama, Mengetahui apa yang diharapkan oleh organisasi dari masing-masing mereka. Kedua, dapat memahami apa yang mereka harapkan dari organisasi. Ketiga, dapat menilai apakah tujuan organisasi itu selaras dengan tujuan pribadi mereka. Keempat, jika belum selaras, maka dapat meneruskan apakah mereka akan tingkatkan organisasi tersebut.[8]
4. Adanya kesatuan arah.
Untuk maksud tersebut, tujuan yang ingin dicapai perlu dinyatakan dengan jelas dan eksplisit karena apapun yang kemudian terjadi dalam organisasi dan kegiatan apapun yang diselenggarakan, harus berkaitan langsung dengan tujuan yang telah ditentukan.[9]Oleh karena itu, adanya kejelasan tujuan yang akan dicapai sebuah organisasi, kemudian adanya pemahaman anggota-anggota dan kelompok dalam organisasi tersebut, akan mengikat individu dan kelompok-kelompok yang dimaksud, yang pada gilirannya akan mendorong adanya kesatuan arah.
5. Kesatuan perintah.
Menurut Ibnu Syamsi, bahwa setiap bawahan memang sebaiknya hanya mempunyai satu atasan yang boleh memerintah sekaligus wajib memberikan pengarahan. Kalau yang memerintah seorang bawahan, maka kemungkinan besar akan terjadi kebingungan, apalagi kalau perintahnya saling bertentangan. Kenyataannya ada juga satu bawahan yang mempunyai lebih dari satu atasan. Misalnya pucuk pimpinan yang bersifat kolegial, mempunyai seorang pesuruh. Dalam hal yang demikian itu, kalau memberikan perintah harus diatur sedemikian rupa hingga tidak saling bertentangan.[10]
6. Fungsionalisasi.
Bahwa dalam setiap organisasi terdapat satuan kerja tertentu yang secara fungsional bertanggungjawab atas penyelesaian tugas-tugas tertentu pula. Penerapan prinsip ini sangat bermanfaat untuk berbagai kepentinagn seperti: a). mencegah timbulya tumpang tindih, b). mencegah timbulnya duplikasi. c). mempermudah pelaksanaan kordinasi antar satuan keja karena satuan kerja yang secara bertanggung jawab atas kegiatan tertentulah yang berperan sebagai koordinator, memperlancar jalannnya pengawasan.[11]
7.Deliniasi berbagai tugas.
Yang dimaksud dengan prinsip ini ialah adanya perumusan yang jelas dari uraian tugas, bukan hanya dari satuan-satuan kerja yang terdapat dalam organisasi akan tetapi juga uraian tugas setiap anggota organisasi. Sarana kerja apa yang diperlukan dan kepada siapa ia mempertanggung jawabkan hasil pekerjaannya. Disamping keuntungan di atas, ada manfaat lain yang dapat dipetik, yang sifatnya psikologis. Yang dimaksud ialah bahwa para anggota organisasi diberi kesempatan untuk menggunakan daya inovasi dan kreativitasnya dalam pelaksanaan tugas yang sangat teknis sekalipun karena adanya kejelasan tentang apa yang diharapkan dari padanya.[12]
7. Keseimbangan antara wewenang dan tanggung jawab.
Wewenang merujuk pada hak-hak yang melekat dalam sebuah posisi manajerial untuk memberikan perintah yang harus ditaati. Organisasi memberikan kepada setiap posisi manajerial dalam struktur organisasi suatu tempat dalam rantai komando, dengan menganugrahi setiap manajer dengan kadar wewenang tertentu untuk memenuhi tanggung jawabnya.[13]
8. Pembangian tugas.
Bila ada kejelasan tentang siapa mengerjakan apa, maka kelompok akan lebih berhasil guna dan berdaya-guna karena baik cara kerjanya.[14]
Pengalaman menunjukkan bahwa tugas-tugas yang harus dikerjakan dalam dan oleh satu organisasi beranekaragam. Seperti terlihat dimuka, berbagai kegiatan itu dapat dikategorikan kepada dua jenis utama, yaitu kegiatan-kegiatan yang berupa tugas pokok dan kegitan-kegiatan penunjang. Kesemuanya itu diserahkan pelaksanaannya kepada satuan-satuan kerja dalam organisasi yang jumlah dan strukturnya disesuaikan dengan beban kerja yang harus dipikul.[15]
9. Kesederhanaan struktur.
Sesungguhnya prinsip ini berkaitan erat dengan pemilihan tipe organisasi yang dipandang paling tepat digunakan sebagai wadah penyelenggaraan bebagai kegiatan dalam rangka pencapaian tujuan. Yang perlu ditekankan sekarang ialah bahwa penstrukturan berbagai kegiatan organisional harus disesuaikan dengan berbagai hal, seperti:
a. Beban tugas yang diemban.
b. Tingkat kematangan teknis para tenaga pelaksana.
c. Jenis teknologi yang digunakan.
d. Sifat kegiatan yang perlu dilaksakan, apakah lebih bersifat rutin dan repetitif ataukah menuntut daya inofatif dan kreatif yang tinggi.
e. Kebijaksanaan pimpinan organisasi tentang pola pengambilan keputusan, apakah sentralistik atau desentralisrtik.
Yang jelas struktur organisasi harus disusun sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan dan usaha koordinasi dapat berjalan dengan lancar.[16]
10. Pola dasar organisasi yang relatif permanen.
Merupakan kenyataan bahwa organisasi selalu menghadapi berbagai jenis perubahan, baik karena faktor-faktor internal maupun karena factor-faktor eksternal. Berbagai factor itu dapat berakibat pada mekarnya organisasi. Misalnya karena otomasi atau robotisasi, berkurangnya kegiatan, pengurangan jumlah tenaga kerja, melemahnya kegiatan ekonomi, perubahan dibidang politik dan lain-lain sebagainya.[17]
11. Adanya pola pendelegasian wewenang.
Untuk dapat menjalankan tugasnya dengan baik, maka kepada para petugas atau pejabat yang harus dilimpahi wewenang. Sebagai konsekuwensi itu harus disertai pertanggung jawaban yang sepadam. Wewenang yang dilimpahkan itu meliputi wewenang untuk menjalankan tugasnya, wewenang untuk memerintah bawahannya dan wewenang untuk menggunakan fasilitas/peralatan yang dibutuhkan. Atasan harus percaya sepenuhnya bahwa bawahan yang dilimpahi weweanng ia mampu untuk melaksanakan tugasnya dengan baik.[18]
12. Rentang pengawasan.
Merupakan hal yang sangat sukar dan bahkan tidak mungkin untuk menentukan secara oksiomatik jumlah orang yang dapat diawasi oleh seorang manejer secara efektif dalam melaksanakan semua jenis kegiatan disemua jenis organisasi. Yang jelas kemampuan seorang manejer melakukan pengawasan selalu terbatas. Akan tetapi dengan keterbatasan kemampuan itu dapat dinyatakan bahwa rentang pengawasan bersifat elastic. Artinya, jumlah bawahan yang dapat diawasi secara efektif oleh seorang manajer berbeda pada satu situasi ke situasi yang lain, dan dari satu organisasi ke organisasi yang lain.[19]
13. Jaminan pekerjaan
Para manajer diharapkan untuk tidak memperlakukan para bawahannya dengan semena-mena, misalnya melakukan pemutusan kerja tanpa dasar yang sangat kuat. Dengan perkataan lain, selama seorang melakukan tugasnya sesuai dengan berbagai ketentuan yang berlaku dalam organisasi, ada jaminan bahwa seseorang tidak akan kehilangan pekerjaan yang menjadi sumber mata pencaharian baginya yang pada gilirannya memungkinkan akan memuaskan bebagai kebutuhannya terutama yang bersifat kebendaan dan social.[20]
14. Keseimbangan antara jasa dan imbalan.
Jika balas jasa yang diterima karyawan semakin besar, pemenuhan kebutuhan yang dinikmatinya semakin banyak pula. Dengan demikian maka kepuasan kerja juga semakin-baik.[21]
Menurut Siagian, bahwa sistem imbalan yang mengandung prinsip keadilan yang dimaksud bahwa secara internal para pegawai yang melaksanakan tugas yang sejenis mendapat imbalan yang sama pula.[22]
Berdasarkan uraian yang telah diemukakan di atas dapat dipahami bahwa prinsip organisasi yang dimaksud adalah pola dasar sebagai acuan, baik berfikir berbuat, bertidak dalam pelaksanaan kegiatan secara kolektifitas, agar pegelolaan dan pencapaian tujun bisa efesien dan efektif serta produktif.
[1]Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar bahasa Indonisia (Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h.701
[2]Ibnu Syamsi, Pokok-pokok Organisasi dan Manajemen, (Cet.III; Jakarta: Renika Cipta, 1994), h.147
[3]Sondang P. Siagian,Fungsi-fungsi Manajerial, (Cet.III; Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 94
[4]Ibnu Syamsi, 3. 3op. cit, h.15
[5]A.S. Wahyudi, Manajemen Strategi, Pengantar, Proses Berpikir Strategi (Cet. I; Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1996) h. 38
[6]Yayat Hayati Djatmiko, Perilaku Organisasi (Cet.III; Bandung: Alfabeta, 2002), h.3
[7]Sondang P. Siagian, Organisasi Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi (Cet. XIV; Jakarta: Toko Gunung Agung, 1997), h. 155
[8]A. W. Wijaya, Kelembagaan dan Organisasi (Cet. I; Jakarta: PT. Bina Aksara, 1988), h. 33
[9]S.P. Siagian, Manajemen Strategik (Cet.I; Jakarta: Bumi Aksara, 1985), h.230
[10]Ibnu Syamsi, op. cit, h. 30
[11]Sondang P. Siagian,Fungsi-fungsi Manajerial, op. cit, h.99
[12]Ibid, h. 100
[13]M. Munir dan Wahyu Ilahi, Manajemen Dakwah (Cet. II; Jakarta: Kencana, 2009), h. 127
[14]Azhar Arsyad, Pokok-pokok Manajemen, Pengetahuan Praktis bagi Pimpinan dan eksikutif (Cet. I; Ujung pandang: 1996), h. 22
[15]Sondang P, Siagian Fungsi-fungsi Manajerial, op. cit, h. 101
[16]Ibid, h.102-103
[17]Ibid, 104
[18]Ibnu Syamsi, op. cit, h. 20
[19]S.P. Siagian, op. cit, h.106
[20]Ibid, 107
[21]Malayu.P.Hasibuan, manajemen Sumber daya manusia (Cet.II; Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 117.
[22]S.P.Siagian, Manajemen Sumber daya manusia, (Cet. IX; Jakarta: Bumi Aksara, 2001), h.255
0 komentar:
Post a Comment